Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MA
Pepatah jawa di atas merupakan salah satu mutiara nasehat yang sudah semakin pudar penerapannya di zaman ini. Terutama di saat egoisme semakin menggurita dan mendominasi kehidupan manusia.
Urip iku urup jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bermakna hidup itu semestinya membuat nyala. Nyala di sini diartikan positif. Bila diibaratkan api, maka api tersebut menerangi. Memberi manfaat bagi sekitarnya.
Manusia adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Menjalin komunikasi dengan yang lain. Manusia tidak bisa mengisolir diri, meskipun memiliki materi yang berlimpah. Itulah mengapa hidup itu harus menyala. Saling tolong-menolong adalah suatu kepastian. Itulah mengapa manusia membutuhkan manusia yang lain.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ“.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. HR. Ath-Thabarany dalam al-Ausath dan dinilai sahih oleh al-Albany.
Seorang bijak pernah berujar, “Jangan engkau menjadi orang sukses. Tapi jadilah orang yang penuh manfaat bagi orang lain”.
Inilah salah satu tujuan hidup manusia. Seseorang harusnya memiliki keterpanggilan untuk saling menolong saudaranya bukan mementingkan ego diri masing-masing. Karena manusia terbaik adalah yang memberi manfaat bagi sesamanya.
Ada paradoks di sini. Manusia menganggap kesuksesan dapat mendatangkan kebahagiaan. Tapi nyatanya ketika mereka menggapai satu titik, maka akan mengejar titik yang lain di atasnya dan tidak pernah puas. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan,
“لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى ثَالِثًا، وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ“.
“Andaikan anak Adam memiliki dua lembah berisikan harta, niscaya dia ingin lembah yang ketiga. Tidak ada yang bisa mengisi perut anak Adam melainkan hanya tanah. Allah akan menerima taubat hamba yang bertaubat”. HR. Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas radhiyallahu’anhuma.
Kebahagiaan yang hakiki adalah ketika kita berbagi. Selain merasakan kebahagiaan ketika berbagi atau membantu orang lain, Allah akan menolong melalui jalan yang tidak kita duga sebelumnya. Dalam sebuah hadits sahih diterangkan,
“وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ“.
“Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama ia senantiasa menolong saudaranya”. HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Ruang berbagi dengan orang lain amatlah luas. Yang paling tinggi adalah berbagi ilmu agama. Alias mengajarkannya, terutama kepada yang membutuhkannya. Misalnya mengajarkan al-Qur’an kepada putra-putri kita dan anak-anak TPQ.
Berikutnya berbagi harta. Apalagi bagi mereka yang mendapatkan kelapangan rizki. Di antara ladang kebajikan yang tidak layak diabaikan adalah: amal jariyah, seperti wakaf untuk sarana ibadah atau pendidikan agama.
Adapun yang minim ilmu dan harta, maka ia bisa berbagi tenaganya kepada orang lain. Dengan membantu meringankan bawaan belanja nenek-nenek misalnya, mendorong mobil yang mogok di tengah jalan, atau yang semisalnya.
Pendek kata, jadilah orang yang senantiasa bermanfaat bagi orang lain, niscaya hidup Anda akan bahagia!
@Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Jum’at, 5 Shafar 1436 / 28 Nopember 2014.